Senin, 01 Juli 2013

SIFAT-SIFAT ALLAH MENURUT PANDANGAN KAUM MU’TAZILAH

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat tuhan. Tarik-menarik diantara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim yang dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dan klaim mentauhidkan allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara keesaan allah.
Perdebatan antara aliran kalam tentang sifat-sifat allah tidak terbatas pada persoalan apakah allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat allah seperti atropomorphisme melihat tuhan, dan esensi Al-Quran. Semoga makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa ma’had ‘aly sa’idusshiddiqiyah.

PEMBAHASAN

SIFAT-SIFAT ALLAH MENURUT PANDANGAN KAUM MU’TAZILAH DAN PANDANGAN TOKOH-TOKOHNYA
Pertentangan faham antara  kaum mu’tazilah   dengan asy’ariah berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak.  Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa faham banyak yang kekal (ta’adudud al-qudamak). Ini selanjutnya membawa faham syirik atau politeisme. Washil bin Attha’ bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qodim bagi allah, ia telah menetapkan adanya dua tuhan.[1]
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh asy’ari, bersifat negative. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya, tetapi bukan deengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Abu al-Huzail, adalah tuhan sendiri, dzat atau esensi tuhan.

A.    Tentang Allah Bersifat Tahu dan Kuasa
Para pengikut aliran mu’tazilah bersepakat bahwa, allah itu bersifat tahu dan kuasa dan hidup. Sekalipun begitu para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan, apakah allah dapat dinyatakan selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim? Dan apakah pengetahuannya itu sebelum terjadinya jisim-jisim tersebut? Tentang hal ini mereka terpecah dengan anggapan-anggapannya yakni:
1.      Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat tuhan. Menurut paham wasil, kepada tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada dzat tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qodim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qodim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qodim. Dengan jalan ini, Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan adanya tuhan lebih dari satu kalau dikatakan tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri diluar dzat tuhan. Dengan membuat sifat tuhan adalah dzat tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum mu’tazilah nafy al-sifat.[2]
2.      Abu Husain al-Shalihi beranggapan bahwa, allah selalu bersifat tahu tehadap sesuatu yang  sedang terjadi, tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi, bahkan tahu pula terhadap jisim-jisim dan segenap makhluk yang sedang terjadi. Diapun beranggapan, tidaklah allah itu bersifat tahu terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya, karena musstahil sesuatu yang tidak ada wujudnya itu diketahui allah. Bahkan sesuatu yang tidak terjadi itu tidaklah dikuasai-Nya, karena sesuatu itu tidaklah dikatakan sebagai sesuatu itu terjadi, dan tidaklah dikatakan sebagai sesuatu, kalau sesuatu itu tidak terjadi.[3]
3.      Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’I beranggapan bahwa, allah swt, itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, baik yang berupa substansi ataupun aksiden. Diapun beranggapan bahwa, sesuatu itu sebenarnya sudah diketahui dan dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi. Begitupun dengan substansi, dia menganggap substansi itu sudah diketahui dan dinamai substansi, sebelum ia terjadi, dan hal ini berlaku juga terhadap yang lain. Yang seperti gerak, diam, warna, rasa, bau atau pun kehendak. Karena itu diapun menganggap taat sebenarnya sudah dinamai taat, sebelum ia terjadi, dan begitu pun halnya dengan maksiat, dia menganggap maksiat itu sudah dinamai maksiat pula sebelum terjadi.[4]
4.      An Nadzam mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa allah itu adalah dzat yang tahu , berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya ( bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat allah yang lain.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, dan kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, tuhan dapat dilihat sekarang didunia, sedangkan kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat tuhan di alam ini. Ayat-ayat al Quran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat diatas adalah ayat 103 Surah Al-An’am, ayat 23 Surah Al-Qiyamah, ayat 14 Surat Al-A’raf, dan masih banyak lagi.
Ajaran-ajaran yang terpenting bagi kaum mu’tazilah adalah Al-Tawhid atau kemahaesaan tuhan. Tuhan dalam paham mereka, kan betul –betul maha esa hanya kalau tuhan merupakan suatu dzat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Mereka juga menolak paham antropomorphisme. Antropomorphisme sebagai diketahui menggambarkan tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Tuhan bagi Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan oleh dzat tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan. Selanjutnya kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[5]:
1.      Sifat- sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
2.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( Al-Iradah ),  sabda ( Al-Kalam ), keadilan ( Al-‘Adl ), dan sebagainya. Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud (  Al-Wujud ), kekekalan dimasa lampau (  Al-Qidam  ), hidup ( Al-Hayah  ), kekuasaan (  Al-Qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.

B.     Pengetahuan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan tentang pengetahuan allah, dan kekuasaannya, apakah bersifat universal atau tidak? Tentang hal ini meraka terpecah dalam dua anggapan, yakni:
1.      Abu al Huzail beranggapan bahwa, pengetahuan allah itu bersifat universal, begitupun dengan kekuasaannya, sehingga gerakan-gerakan penghuni surga pun pasti terputus dan terhenti selamanya.
2.      Sebagian lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan allah dan kekuasaannya terhadap sesuatu tindaklah bersifat universal.

C.    Perbuatan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbutan allah itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua anggapan, yakni:
1.      Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui allah itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhiratnya, sehingga tinggallah allah sendiri sebagai dzat yang maha akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan dzat yang maha awal yang tiada sesuatupun menyertai-Nya.
2.      Para pengikut aliran mu’tazilah lainnya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya akan kekal didalamnya mengenyam kenikmatan kenikmatan yang dikaruniakan allah kepada mereka, sementara para penghuni nereka itu niscaya pula kekal didalamnya.

D.    Sifat-sifat Azali bagi Allah.
Para pengikut mutazilah berbeda anggapan, apakah allah yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan sendiri-Nya atau karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan-Nya? Lalu apa pula arti pernyataan allah itu maha tahu, maha kuasa dan maha hidup? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam beberapa anggapan ;
1.      Sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, Murjiah, dan syiah Zaidiyah beranggapan bahwa, allah bersifat tahu, kuasa, dan hidup itu dengan sendiri-Nya bukan karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupannya. Bahkan terdapatnya pengetahuan pada allah dalam arti allah itu bersifat tahu, terdapatnya kekuasaan dalam arti allah bersifat kuasa, tetapi terdapatnya keperihidupan tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada allah itu terdapat pedengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada allah itu terdapat kekuatan dan pengetahuan, karena yang layak pada-Nya pun hanyalah hal itu semata.
2.      Sebagian lain Mu’tazilah menganggap terdapatnya pengetahuann pada allah itu dalam arti sesuatu yang diketahui, terdapatnya kekuasaan itu sendiri adalah dia. Selanjutnya juga beranggapan bahwa allah mempunyai wajah dan wajah-Nya itu sendiri adalah Dia.
3.      Abd ibn Sulaiman beranggapan bahwa allah itu bersifat tahu, kuasa dan hidup. Tetapi dia tidak menetapkan terdapatnya pengetahuan, kekuasaan, keperihidupan, pendengaran dan penglihatan. Bahkan dia menganggap allah itu bersifat tahu bukan dengan pengetahuan, berkuasa bukan dengan kekuasaan, bersifat hidup bukan dengan keperihidupan dan bersifat mendengar bukan dengan pendengaran dan begitupun sifatnya yang lain, yang selalu dinyatakan sebagai Nama-Nya, itu semua bukan dengan perbuatan ataupun selainnya.
4.      Dhirar[6] beranggapan ; Arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah dia tidak bodoh, begitupun dengan allah bersifat kuasa itu ialah dia tidak lemah dan allah bersifat hidup itu ialah allah tidak mati.
5.      Al-Nizham[7] beranggapan arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah menisbahkan Dzat-Nya sebagai yang bersifat tahu dan menafikan dia sebagai bersifat bodoh, Allah bersifat kuasa itu menisbahkan dzatnya sebagai yang bersifat kuasa dan menafikan dia sebagai bersifat lemah.
6.      Mu’ammar[8] beranggapan bahwa allah bersifat tahu itu dengan pengetahuan, dimana pengetahuannya tersebut semata-mata untuk sesuatu makna, bukan untuk sesuatu tujuan , dan begitupun dengan anggapannya tentang sifat-sifat lainnya yang ada pada allah, yang kesemuannya ini diceritakan kepadaku oleh Abu Amr Al-Furati dari Muhammad ibn Isa Al-Sayyarafi.
Mereka pun beranggapan, bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu berarti dia bersifat hidup, bahkan tidaklah allah yang bersifat tahu itu berarti pula dia bersifat kuasa, dan bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu berarti dia bersifat tahu, sehingga tidaklah allah yang bersifat hidup itu berarti pula dia bersifat kuasa.

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan bagi Mu’tazilah tetap maha tahu, maha kuasa, maha hidup, maha mendengar, maha melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan oleh dzat tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan. Selanjutnya kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[9]:
3.      Sifat- sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
4.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( al iradah ), sabda ( al kalam ), keadilan ( al-‘adl ), dan sebagainya. Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud (  al wujud ), kekekalan dimasa lampau (  al-qidam  ), hidup ( al-hayah  ), kekuasaan (  al-qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.
DAFTAR PUSTAKA
·         Abdul Razak, Rosihon anwar. 2010.ilmu kalam.Bandung : CV Pustaka Setia.
·         Nasir Yusuf, karsidi diningrat.1998.prinsip-prinsip dasar aliran theology islam.Bandung: CV Pustaka Setia.
·         Nasution,Harun.2010.Teologi islam.jakarta : UI Press.











[1] .DR. Abdul Razaq, Rasyihan Anwar, ilmu kalam, 167
[2]  Harun Nasution, Teologi Islam, 48
[3]  Nasir Yusuf, Karsidi Diningrat, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam buku 1, 223
[4] Ibid. hal 225
[5] Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.
[6] Dhirar ibn Amr adalah pemimpin aliran Dhirariyah, yang muncul pada masa pemerintahan Washil ibn Atha’
[7] Abu Ishak Ibrahim ibn Sayyar ini yang lebi dikenal dengan Al-Nizham, ialah seorang keponakan Abu Al-Hudzail a-Alaf.
[8] Muammar ibn Abbad Al-Silmi ini, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Amr, hidup dimasa Khalifah Harun Al- Rasyid.
[9] Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.

HUKUM HOMOSEKSUAL, LESBIAN, DAN ONANI/MASTURBASI


1.      Homoseksual dan Lesbian

  • Homoseksual adalah hubungan seksual antara orang-orang yang sama kelaminnya, baik sesame pria maupun sesame wanita, namun biasanya istilah homosex itu dipakai untuk sex antar pria; sedangkan untuk sex antar wanita, disebut lesbian (female homosex). Lawan homosex adalah heterosex, artinya hubungan seksual antara orang-orang yang berbeda kelaminnya (seorang pria dengan seorang seorang wanita).

Homoseksual (liwath, bhs. Arab) dilakukan dengan cara memasukan penis (zakar, bhs. Arab) kedalam anus (dubur, bhs. Arab); sedangkan lesbian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi satu sama lain atau dengan cara lainnya untuk mendapatkan orgasme (puncak kenikmatan atau climax of the sex act)

Perbuatan kaum homo, baik seks antar sesame pria (homoseksual), maupun seks antar sesame wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah, bhs. Arab) yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun menurut hokum pidana di Indonesia (vide pasal 292 KUHP)
Menurut hokum fiqh jinayah(hokum pidana Islam), homoseksual (liwath) termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan bertentangan pula dengan sunnatulloh (God’s Law/ Natur Of law) dan fitrah manusia(human Nature) sebab Alloh SWT menjadikan manusia terdiri dari pria dan wanita adalah untuk berpasang-pasangan sebagai suami istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk memperoleh ketenangan dan kasih saying, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl ayat 72 :
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ (16:72)

Artinya :”Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?"

Dan firman Alloh dalam Surat Ar-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (30:21)
Artinya:”dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.


Menurut Dr. Muhammad Rashfi di dalam kitabnya Al-Islam Wa al-Thib sebagaimana dikutip oleh Sayid Sabiq, bahwa Islam melarang keras  homosex, karena mempunyai dampak yang negative terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Tidak tertarik kepada wanita, tetapi justeru tertarik kepada pria sama kelaminnya. Akibatnya kalau si homo itu kawin,maka istrinya menjadi korban (merana), karena suaminya bias tidak mampu menjalankan tugas sebagai suami, dan si istri hidup tanpa ketenangan dan kasih saying, serta ia tidak mendapatkan keturunan, sekalipun ia subur
2.      Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesame kelamin, tidak stabil jiwanya, dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo. Misalnya ia bergaya sesama seperti wanita dalam berpakaian, berhias, dan bertingkah laku;
3.      Gangguan syaraf otak, yang akibatnya bias melemahkan daya pikiran dan semangat/ kemauannya;
4.      Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kekurangan/kehilangan daya ketahanan tubuhnya. Penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya dan telah membawa korban banyak sekali di Barat, khususnya di Amerika Serikat. Berdasarkan suevei di Amerika Serikat pada Tahun 1985 terhadap 12.000 penderita AIDS, ternyata 73 % akibat hubungan free sex, terutama homosex, 17% karena pecandu narkotik atau sejenisnya, dan 2,5% akibat transfuse darah.

Para Ahlu hokum fiqh sekalipun telah sepakat mengharamkan homosex, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumannya.

Pendapat pertama antara lain Imam Syafi’I,pasangan homosex dihukum mati, berdasarkan hadits Nabi, riwayat Khomsah (lima Ahli Hadits Kecuali Al-Nasai)dari Ibnu Abbas :
مَنْ وَجَدْتُمُوْهُ يَعْمَلْ عَمَلَ قَوْمَ لُوْطٍ فَاقْتُلُوْاالْفَاعِلَ وَالْمَفْعُوْلَ
Artinya:”Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homosex seperti praktek kaum luth, maka bunuhlah sipelaku dan yang diperlakukan (pasangannya)

Menurut Al-Mundziri, khalifah Abu Bakar dan Ali pernah menghukum mati terhadap pasangan homosex.

Pendapat kedua antara lain Al-Auzai, Abu Yusuf dan lain-lain, hukumnya disamakan dengan hukuiman zina, yakni hukuman dera dan pengasingan untuk yang belum kawin, dan dirajam (stoning to death) untuk pelaku yang sudah kawin, berdasarkan Hadits Nabi :
اِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ. (الحديث)
Artinya : “apabila seorang pria melakukan hubungan sex dengan pria lain, maka kedua-duanya adalah berbuat zina”

Pendapat kedua ini sebenarnya memakai qias didalam menetapkan hukumannya.

Pendapat ketiga antara lain Abu Hanifah, pelaku homosex dihukum ta’zir, sejenis hukuman yang bertujuan edukatif, dan besar ringanya hukuman tazir diserahkan kepada pengadilan (Hakim). Hukuman Ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar  hukumannya oleh nas Al-Qur’an dan Hadits.

Menurut Al-Syaukani, pendapat pertama adalah yang kuat, karena berdasarkan nas Shahih (Hadits) yang jelas maknanya; sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena memakai dalil qias, padahal ada nash nya, dan sebab hadits yang dipakainya lemah. Demikianpula pendapat ketiga, juga dipandang lemah, karena bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati (hukuman had), bukan hukuman ta’zir

  • Mengenai perbuatan lesbian (female homosexual), atau sahaq (bhs. Arab), para ahli fiqh juga sepakat mengharamkannya, berdasarkan Hadits Nabi riwayat Ahmad, Abu daud, Muslim, dan Al-Tirmidzi :

لَايَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلَ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يَغُضُّ الرَّجُلُ إَلَى الرَّجُلِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ وَلَا تََغُضُ الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ  

Artinya:” janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain dibawah sehelai selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah sehelai selimut/kain”

Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum ta’zir, suatu hukuman yang macam dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi, hukumannya lebih ringan daripada homoseksual, karena bahaya/risikonya lebih ringan dibandingkan dengan bahaya homosexual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa memasukan alat kelaminnya; seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung (pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa memasukan penisnya kedalam vagina. Perbuatan semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat dikenakan hukuman ta’zir seperti lesbian diatas.

2.      Onani (istimna’bil yadi, bhs. Arab)
Onani (istimna’bil yadi, bhs. Arab), yakni masturbasi dengan tangan sendiri. Islam memandangnya sebagai perbuatan yang tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Namun, para ahli Hukum Fiqh berbeda pendapat tentang hukumnya.

Pendapat pertama, Ulama Maliki, Syafii dan Zaidi mengharamkan secara Mutlak, berdasarkan Al-Qur’an Surat Al-Mu’minun ayat 5-7:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (23:5إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (23:6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (23:7))
Artinya :”dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas”.


Ayat ini dengan jelas memerintahkan kepada kita agar menjaga kehormatan alat kelamin (penis), kecuali terhadap istri dan budak kita. Yang dimaksud budak disini, ialah budak yang didapat dalam peperangan untuk membela agama.

Pendapat kedua, Ulama Hanafi secara prinsip mengharamkan onani, tetapi dalam keadaan gawat, yakni orang yang memuncak nafsu seksnya dan khawatir berbuat zina, maka ia boleh, bahkan wajib berbuat onani demi menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina yang jauh lebih besar dosa dan bahayanya daripada onani. Hal ini sejalan dengan kaidah fiqh
اِرْتِكَابُ أَخَفُّ الضَّرَرَيْنِ وَاجِبٌ
Artinya:”Wajib menempuh bahaya yang lebih ringan diantara dua bahaya”

Pendapat ketiga, Ulama Hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang takut berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat), atau khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau amat (budak wanita), dan ia tidak mampu kawin, maka ia tidak berdosa berbuat onani.

Menurut pendapat kedua dan ketiga diatas, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa (darurat) itu dibatasi seminimal mungkin penggunaannya, dalam hal ini perbuatan onani itu
Hal ini sesuai dengan kaidah Fiqh :
مَاأُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا
Artinya: “ sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, hanya boleh sekadarnya saja”

Kaidah fiqh ini berdasarkan firman Alloh dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat173 :

Pendapat keempat, Ibnu Hazm memandang makruh onani, tidak berdosa, tetapi tidak etis.
Pendapat kelima, Ibnu Abbas, Al-Hasan, dan lain-lain membolehkan onani. Kata Al-Hasan, “ Orang Islam dahulu melakukannya dalam waktu peperangan (jauh dari keluarga/istri)”. Dan kata Mujahid, seorang ahli tafsir, murid Ibnu Abbas, “Orang Islam dahulu (sahabat Nabi) mentoleransi para remaja/pemudanya melakukan onani/masturbasi”. Dan hokum mubah berbuat onaniini berlaku baik untuk pria maupun wanita.

Menurut hemat penulis, lebih cenderung kepada pendapat yang kedua dan ketiga yaitu membolehkannya dengan dasar keadaan gawat, artinya ketika hawa nafsu seksual memuncak agama memberikan jalan alternative dengan menyalurkan kedalam bentuk lain seperti onani, karna belum menikah ataupun belum mempunyai penyaluran seksual yang sah menurut agama. Apalagi kalau dalam keadaan di medan perang atau masa remaja. Tetapi tidak boleh dijadikan kebiasaan atau rutinitas sehari-hari, sebab seperti kaidah usul fiqh tadi hanya sekedarnya saja dalam keadaan tertentu tidak dijadikan aktivitas rutinitas. Sebab kalaupun dilakukan secara rutinitas akibatnya bias mengganggu kesehatan jasmani dan kesehatan rohani (mental). Juga bias melemahkan potensi kelaminnya, serta kemampuan ejakulasinya, sehingga menjadi sebab gagalnya sel sperma pria menerobos masuk untuk bertemu dengan sel telur wanita (ovum)

Semoga Bermanfaat, dan mudah-mudahan menjadi Amal Sholeh, Amin

______Moch. toni ardi______
REFERENSI
        Al-Qur’an Al-Karim
        AlHadits
        H. Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,prof. Drs, edisi II Cetakan ke-7, Malang,1994
        Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz. II, Libanon, Darul fiqr, 1981
        Abdul Qadir ‘Audah, Al-Tasyri’ Al-jinai al-Islami Muqaranan bil Qonun al-Wadhi
        Moelyanto, KUHP, Jakarta, Bina Aksara, 1985, hlm.127