Senin, 01 Juli 2013

SIFAT-SIFAT ALLAH MENURUT PANDANGAN KAUM MU’TAZILAH

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran kalam adalah masalah sifat-sifat tuhan. Tarik-menarik diantara aliran-aliran kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim yang dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dan klaim mentauhidkan allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara keesaan allah.
Perdebatan antara aliran kalam tentang sifat-sifat allah tidak terbatas pada persoalan apakah allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat allah seperti atropomorphisme melihat tuhan, dan esensi Al-Quran. Semoga makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa ma’had ‘aly sa’idusshiddiqiyah.

PEMBAHASAN

SIFAT-SIFAT ALLAH MENURUT PANDANGAN KAUM MU’TAZILAH DAN PANDANGAN TOKOH-TOKOHNYA
Pertentangan faham antara  kaum mu’tazilah   dengan asy’ariah berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak.  Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa faham banyak yang kekal (ta’adudud al-qudamak). Ini selanjutnya membawa faham syirik atau politeisme. Washil bin Attha’ bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat qodim bagi allah, ia telah menetapkan adanya dua tuhan.[1]
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan, sebagaimana telah dijelaskan oleh asy’ari, bersifat negative. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan sebagainya, tetapi bukan deengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya, “Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan sendiri”. Dengan demikian, pengetahuan tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Abu al-Huzail, adalah tuhan sendiri, dzat atau esensi tuhan.

A.    Tentang Allah Bersifat Tahu dan Kuasa
Para pengikut aliran mu’tazilah bersepakat bahwa, allah itu bersifat tahu dan kuasa dan hidup. Sekalipun begitu para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan, apakah allah dapat dinyatakan selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim? Dan apakah pengetahuannya itu sebelum terjadinya jisim-jisim tersebut? Tentang hal ini mereka terpecah dengan anggapan-anggapannya yakni:
1.      Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafy al-sifat atau peniadaan sifat-sifat tuhan. Menurut paham wasil, kepada tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada dzat tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qodim maka apa yang melekat pada dzat itu bersifat qodim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qodim. Dengan jalan ini, Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan adanya tuhan lebih dari satu kalau dikatakan tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri diluar dzat tuhan. Dengan membuat sifat tuhan adalah dzat tuhan, persoalan adanya yang qadim selain dari tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud kaum mu’tazilah nafy al-sifat.[2]
2.      Abu Husain al-Shalihi beranggapan bahwa, allah selalu bersifat tahu tehadap sesuatu yang  sedang terjadi, tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi, bahkan tahu pula terhadap jisim-jisim dan segenap makhluk yang sedang terjadi. Diapun beranggapan, tidaklah allah itu bersifat tahu terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya, karena musstahil sesuatu yang tidak ada wujudnya itu diketahui allah. Bahkan sesuatu yang tidak terjadi itu tidaklah dikuasai-Nya, karena sesuatu itu tidaklah dikatakan sebagai sesuatu itu terjadi, dan tidaklah dikatakan sebagai sesuatu, kalau sesuatu itu tidak terjadi.[3]
3.      Muhammad ibn Abdul Wahab al-Juba’I beranggapan bahwa, allah swt, itu selalu bersifat tahu terhadap sesuatu, baik yang berupa substansi ataupun aksiden. Diapun beranggapan bahwa, sesuatu itu sebenarnya sudah diketahui dan dinamai sesuatu, sebelum ia terjadi. Begitupun dengan substansi, dia menganggap substansi itu sudah diketahui dan dinamai substansi, sebelum ia terjadi, dan hal ini berlaku juga terhadap yang lain. Yang seperti gerak, diam, warna, rasa, bau atau pun kehendak. Karena itu diapun menganggap taat sebenarnya sudah dinamai taat, sebelum ia terjadi, dan begitu pun halnya dengan maksiat, dia menganggap maksiat itu sudah dinamai maksiat pula sebelum terjadi.[4]
4.      An Nadzam mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa allah itu adalah dzat yang tahu , berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya ( bukan sifat-Nya). Dinafikan pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat allah yang lain.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan, karena bersifat immateri, tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, tuhan tidak mengambil tempat sehingga tidak dapat dilihat, dan kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, itu berarti, tuhan dapat dilihat sekarang didunia, sedangkan kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat tuhan di alam ini. Ayat-ayat al Quran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat diatas adalah ayat 103 Surah Al-An’am, ayat 23 Surah Al-Qiyamah, ayat 14 Surat Al-A’raf, dan masih banyak lagi.
Ajaran-ajaran yang terpenting bagi kaum mu’tazilah adalah Al-Tawhid atau kemahaesaan tuhan. Tuhan dalam paham mereka, kan betul –betul maha esa hanya kalau tuhan merupakan suatu dzat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia. Mereka juga menolak paham antropomorphisme. Antropomorphisme sebagai diketahui menggambarkan tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Tuhan bagi Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan oleh dzat tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan. Selanjutnya kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[5]:
1.      Sifat- sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
2.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( Al-Iradah ),  sabda ( Al-Kalam ), keadilan ( Al-‘Adl ), dan sebagainya. Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud (  Al-Wujud ), kekekalan dimasa lampau (  Al-Qidam  ), hidup ( Al-Hayah  ), kekuasaan (  Al-Qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.

B.     Pengetahuan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan tentang pengetahuan allah, dan kekuasaannya, apakah bersifat universal atau tidak? Tentang hal ini meraka terpecah dalam dua anggapan, yakni:
1.      Abu al Huzail beranggapan bahwa, pengetahuan allah itu bersifat universal, begitupun dengan kekuasaannya, sehingga gerakan-gerakan penghuni surga pun pasti terputus dan terhenti selamanya.
2.      Sebagian lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan allah dan kekuasaannya terhadap sesuatu tindaklah bersifat universal.

C.    Perbuatan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbutan allah itu berakhir atau tidak? Tentang hal ini mereka terpecah dalam dua anggapan, yakni:
1.      Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui allah itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhiratnya, sehingga tinggallah allah sendiri sebagai dzat yang maha akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan dzat yang maha awal yang tiada sesuatupun menyertai-Nya.
2.      Para pengikut aliran mu’tazilah lainnya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya akan kekal didalamnya mengenyam kenikmatan kenikmatan yang dikaruniakan allah kepada mereka, sementara para penghuni nereka itu niscaya pula kekal didalamnya.

D.    Sifat-sifat Azali bagi Allah.
Para pengikut mutazilah berbeda anggapan, apakah allah yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan sendiri-Nya atau karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan-Nya? Lalu apa pula arti pernyataan allah itu maha tahu, maha kuasa dan maha hidup? Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam beberapa anggapan ;
1.      Sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah, Murjiah, dan syiah Zaidiyah beranggapan bahwa, allah bersifat tahu, kuasa, dan hidup itu dengan sendiri-Nya bukan karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupannya. Bahkan terdapatnya pengetahuan pada allah dalam arti allah itu bersifat tahu, terdapatnya kekuasaan dalam arti allah bersifat kuasa, tetapi terdapatnya keperihidupan tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada allah itu terdapat pedengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada allah itu terdapat kekuatan dan pengetahuan, karena yang layak pada-Nya pun hanyalah hal itu semata.
2.      Sebagian lain Mu’tazilah menganggap terdapatnya pengetahuann pada allah itu dalam arti sesuatu yang diketahui, terdapatnya kekuasaan itu sendiri adalah dia. Selanjutnya juga beranggapan bahwa allah mempunyai wajah dan wajah-Nya itu sendiri adalah Dia.
3.      Abd ibn Sulaiman beranggapan bahwa allah itu bersifat tahu, kuasa dan hidup. Tetapi dia tidak menetapkan terdapatnya pengetahuan, kekuasaan, keperihidupan, pendengaran dan penglihatan. Bahkan dia menganggap allah itu bersifat tahu bukan dengan pengetahuan, berkuasa bukan dengan kekuasaan, bersifat hidup bukan dengan keperihidupan dan bersifat mendengar bukan dengan pendengaran dan begitupun sifatnya yang lain, yang selalu dinyatakan sebagai Nama-Nya, itu semua bukan dengan perbuatan ataupun selainnya.
4.      Dhirar[6] beranggapan ; Arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah dia tidak bodoh, begitupun dengan allah bersifat kuasa itu ialah dia tidak lemah dan allah bersifat hidup itu ialah allah tidak mati.
5.      Al-Nizham[7] beranggapan arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah menisbahkan Dzat-Nya sebagai yang bersifat tahu dan menafikan dia sebagai bersifat bodoh, Allah bersifat kuasa itu menisbahkan dzatnya sebagai yang bersifat kuasa dan menafikan dia sebagai bersifat lemah.
6.      Mu’ammar[8] beranggapan bahwa allah bersifat tahu itu dengan pengetahuan, dimana pengetahuannya tersebut semata-mata untuk sesuatu makna, bukan untuk sesuatu tujuan , dan begitupun dengan anggapannya tentang sifat-sifat lainnya yang ada pada allah, yang kesemuannya ini diceritakan kepadaku oleh Abu Amr Al-Furati dari Muhammad ibn Isa Al-Sayyarafi.
Mereka pun beranggapan, bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu berarti dia bersifat hidup, bahkan tidaklah allah yang bersifat tahu itu berarti pula dia bersifat kuasa, dan bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu berarti dia bersifat tahu, sehingga tidaklah allah yang bersifat hidup itu berarti pula dia bersifat kuasa.

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan bagi Mu’tazilah tetap maha tahu, maha kuasa, maha hidup, maha mendengar, maha melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan oleh dzat tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan. Selanjutnya kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[9]:
3.      Sifat- sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
4.      Sifat-sifat yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( al iradah ), sabda ( al kalam ), keadilan ( al-‘adl ), dan sebagainya. Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud (  al wujud ), kekekalan dimasa lampau (  al-qidam  ), hidup ( al-hayah  ), kekuasaan (  al-qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.
DAFTAR PUSTAKA
·         Abdul Razak, Rosihon anwar. 2010.ilmu kalam.Bandung : CV Pustaka Setia.
·         Nasir Yusuf, karsidi diningrat.1998.prinsip-prinsip dasar aliran theology islam.Bandung: CV Pustaka Setia.
·         Nasution,Harun.2010.Teologi islam.jakarta : UI Press.











[1] .DR. Abdul Razaq, Rasyihan Anwar, ilmu kalam, 167
[2]  Harun Nasution, Teologi Islam, 48
[3]  Nasir Yusuf, Karsidi Diningrat, Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam buku 1, 223
[4] Ibid. hal 225
[5] Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.
[6] Dhirar ibn Amr adalah pemimpin aliran Dhirariyah, yang muncul pada masa pemerintahan Washil ibn Atha’
[7] Abu Ishak Ibrahim ibn Sayyar ini yang lebi dikenal dengan Al-Nizham, ialah seorang keponakan Abu Al-Hudzail a-Alaf.
[8] Muammar ibn Abbad Al-Silmi ini, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Amr, hidup dimasa Khalifah Harun Al- Rasyid.
[9] Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.

1 komentar: