PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Persoalan lain yang menjadi bahan perdebatan diantara aliran-aliran
kalam adalah masalah sifat-sifat tuhan. Tarik-menarik diantara aliran-aliran
kalam dalam menyelesaikan persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth claim yang
dibangun atas dasar kerangka berpikir masing-masing dan klaim mentauhidkan
allah. Tiap-tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat mensucikan dan memelihara
keesaan allah.
Perdebatan antara aliran kalam tentang sifat-sifat allah tidak
terbatas pada persoalan apakah allah memiliki sifat atau tidak, tetapi juga
pada persoalan-persoalan cabang sifat-sifat allah seperti atropomorphisme
melihat tuhan, dan esensi Al-Quran. Semoga makalah ini dapat memberi banyak
manfaat bagi para pembaca khususnya mahasiswa ma’had ‘aly sa’idusshiddiqiyah.
PEMBAHASAN
SIFAT-SIFAT
ALLAH MENURUT PANDANGAN KAUM MU’TAZILAH DAN PANDANGAN TOKOH-TOKOHNYA
Pertentangan faham antara
kaum mu’tazilah dengan asy’ariah
berkisar sekitar persoalan apakah tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika tuhan
mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat
itu, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat membawa faham
banyak yang kekal (ta’adudud al-qudamak). Ini selanjutnya membawa faham syirik
atau politeisme. Washil bin Attha’ bahwa siapa saja menetapkan adanya sifat
qodim bagi allah, ia telah menetapkan adanya dua tuhan.[1]
Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang tuhan,
sebagaimana telah dijelaskan oleh asy’ari, bersifat negative. Tuhan tidak
mempunyai pengetahuan, kekuasaan, hajat, dan sebagainya. Ini tidak berarti
bahwa tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup, dan
sebagainya, tetapi bukan deengan sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya,
“Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan sendiri”.
Dengan demikian, pengetahuan tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh Abu al-Huzail,
adalah tuhan sendiri, dzat atau esensi tuhan.
A.
Tentang Allah Bersifat Tahu dan Kuasa
Para pengikut
aliran mu’tazilah bersepakat bahwa, allah itu bersifat tahu dan kuasa dan
hidup. Sekalipun begitu para pengikut aliran mu’tazilah berbeda anggapan,
apakah allah dapat dinyatakan selalu bersifat tahu terhadap jisim-jisim? Dan
apakah pengetahuannya itu sebelum terjadinya jisim-jisim tersebut? Tentang hal
ini mereka terpecah dengan anggapan-anggapannya yakni:
1. Abu al-Huzail menjelaskan apa sebenarnya yang di maksud dengan nafy
al-sifat atau peniadaan sifat-sifat tuhan. Menurut paham wasil, kepada
tuhan tak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian
melekat pada dzat tuhan. Karena dzat tuhan bersifat qodim maka apa yang melekat
pada dzat itu bersifat qodim pula. Dengan demikian sifat adalah bersifat qodim.
Dengan jalan ini, Abu al-Huzail mencoba mengatasi persoalan adanya tuhan lebih
dari satu kalau dikatakan tuhan mempunyai sifat yang berwujud sendiri diluar
dzat tuhan. Dengan membuat sifat tuhan adalah dzat tuhan, persoalan adanya yang
qadim selain dari tuhan menjadi hilang dengan sendirinya. Inilah yang dimaksud
kaum mu’tazilah nafy al-sifat.[2]
2. Abu Husain al-Shalihi beranggapan bahwa, allah selalu bersifat tahu
tehadap sesuatu yang sedang terjadi,
tahu terhadap sesuatu yang akan terjadi, bahkan tahu pula terhadap jisim-jisim
dan segenap makhluk yang sedang terjadi. Diapun beranggapan, tidaklah allah itu
bersifat tahu terhadap sesuatu, kecuali sesuatu itu memang ada wujudnya, karena
musstahil sesuatu yang tidak ada wujudnya itu diketahui allah. Bahkan sesuatu
yang tidak terjadi itu tidaklah dikuasai-Nya, karena sesuatu itu tidaklah
dikatakan sebagai sesuatu itu terjadi, dan tidaklah dikatakan sebagai sesuatu,
kalau sesuatu itu tidak terjadi.[3]
3.
Muhammad
ibn Abdul Wahab al-Juba’I beranggapan bahwa, allah swt, itu selalu bersifat
tahu terhadap sesuatu, baik yang berupa substansi ataupun aksiden. Diapun
beranggapan bahwa, sesuatu itu sebenarnya sudah diketahui dan dinamai sesuatu,
sebelum ia terjadi. Begitupun dengan substansi, dia menganggap substansi itu
sudah diketahui dan dinamai substansi, sebelum ia terjadi, dan hal ini berlaku juga
terhadap yang lain. Yang seperti gerak, diam, warna, rasa, bau atau pun kehendak. Karena itu
diapun menganggap taat sebenarnya sudah dinamai taat, sebelum ia terjadi, dan
begitu pun halnya dengan maksiat, dia menganggap maksiat itu sudah dinamai
maksiat pula sebelum terjadi.[4]
4. An Nadzam mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa allah itu adalah dzat
yang tahu , berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan
sebenarnya adalah dzat-Nya ( bukan sifat-Nya). Dinafikan
pula dari-Nya kebodohan, kelemahan, tuli, dan buta. Demikian pula sifat-sifat
allah yang lain.
Kaum mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan, karena bersifat immateri,
tidak dapat dilihat dengan mata kepala karena pertama, tuhan tidak mengambil
tempat sehingga tidak dapat dilihat, dan kedua, bila tuhan dapat dilihat dengan
mata kepala, itu berarti, tuhan dapat dilihat sekarang didunia, sedangkan
kenyataannya tidak seorang pun yang dapat melihat tuhan di alam ini. Ayat-ayat
al Quran yang dijadikan sandaran dalam mendukung pendapat diatas adalah ayat
103 Surah Al-An’am, ayat 23 Surah Al-Qiyamah, ayat 14 Surat Al-A’raf, dan masih
banyak lagi.
Ajaran-ajaran yang terpenting bagi kaum mu’tazilah adalah Al-Tawhid
atau kemahaesaan tuhan. Tuhan dalam paham mereka, kan betul –betul maha esa
hanya kalau tuhan merupakan suatu dzat yang unik, tidak ada yang serupa dengan
Dia. Mereka juga menolak paham antropomorphisme. Antropomorphisme sebagai
diketahui menggambarkan tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya.
Tuhan bagi Mu’tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup, Maha
Mendengar, Maha Melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan
oleh dzat tuhan. Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan.
Selanjutnya kaum mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[5]:
1.
Sifat-
sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
2.
Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti
hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( Al-Iradah ), sabda ( Al-Kalam ), keadilan ( Al-‘Adl
), dan sebagainya. Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud ( Al-Wujud ), kekekalan dimasa lampau ( Al-Qidam ), hidup ( Al-Hayah ), kekuasaan ( Al-Qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan
sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain
sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan
tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya
kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.
B.
Pengetahuan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah
berbeda anggapan tentang pengetahuan allah, dan kekuasaannya, apakah bersifat
universal atau tidak? Tentang hal ini meraka terpecah dalam dua anggapan,
yakni:
1.
Abu
al Huzail beranggapan bahwa, pengetahuan allah itu bersifat universal,
begitupun dengan kekuasaannya, sehingga gerakan-gerakan penghuni surga pun
pasti terputus dan terhenti selamanya.
2.
Sebagian
lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan allah dan kekuasaannya terhadap sesuatu
tindaklah bersifat universal.
C.
Perbuatan Allah
Para pengikut aliran mu’tazilah
berbeda anggapan, apakah perbutan allah itu berakhir atau tidak? Tentang hal
ini mereka terpecah dalam dua anggapan, yakni:
1.
Jaham
ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui allah
itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun
niscaya musnah akhiratnya, sehingga tinggallah allah sendiri sebagai dzat yang
maha akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan dzat yang maha awal yang
tiada sesuatupun menyertai-Nya.
2.
Para
pengikut aliran mu’tazilah lainnya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu
tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para
penghuni surga itu pun niscaya akan kekal didalamnya mengenyam kenikmatan kenikmatan
yang dikaruniakan allah kepada mereka, sementara para penghuni nereka itu
niscaya pula kekal didalamnya.
D.
Sifat-sifat Azali bagi Allah.
Para pengikut mutazilah berbeda
anggapan, apakah allah yang bersifat tahu, kuasa dan hidup itu dengan
sendiri-Nya atau karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupan-Nya? Lalu apa
pula arti pernyataan allah itu maha tahu, maha kuasa dan maha hidup? Tentang hal
ini mereka terpecah lagi dalam beberapa anggapan ;
1.
Sebagian
besar pengikut aliran Mu’tazilah, Murjiah, dan syiah Zaidiyah beranggapan
bahwa, allah bersifat tahu, kuasa, dan hidup itu dengan sendiri-Nya bukan
karena pengetahuan, kekuasaan dan keperihidupannya. Bahkan terdapatnya
pengetahuan pada allah dalam arti allah itu bersifat tahu, terdapatnya
kekuasaan dalam arti allah bersifat kuasa, tetapi terdapatnya keperihidupan
tidak mereka artikan seperti ini, karena mereka tidak menganggap pada allah itu
terdapat pedengaran dan penglihatan, tetapi hanya menganggap pada allah itu
terdapat kekuatan dan pengetahuan, karena yang layak pada-Nya pun hanyalah hal
itu semata.
2.
Sebagian
lain Mu’tazilah menganggap terdapatnya pengetahuann pada allah itu dalam arti
sesuatu yang diketahui, terdapatnya kekuasaan itu sendiri adalah dia.
Selanjutnya juga beranggapan bahwa allah mempunyai wajah dan wajah-Nya itu
sendiri adalah Dia.
3.
Abd
ibn Sulaiman beranggapan bahwa allah itu bersifat tahu, kuasa dan hidup. Tetapi
dia tidak menetapkan terdapatnya pengetahuan, kekuasaan, keperihidupan,
pendengaran dan penglihatan. Bahkan dia menganggap allah itu bersifat tahu
bukan dengan pengetahuan, berkuasa bukan dengan kekuasaan, bersifat hidup bukan
dengan keperihidupan dan bersifat mendengar bukan dengan pendengaran dan
begitupun sifatnya yang lain, yang selalu dinyatakan sebagai Nama-Nya, itu
semua bukan dengan perbuatan ataupun selainnya.
4.
Dhirar[6]
beranggapan ; Arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah dia tidak bodoh,
begitupun dengan allah bersifat kuasa itu ialah dia tidak lemah dan allah
bersifat hidup itu ialah allah tidak mati.
5.
Al-Nizham[7]
beranggapan arti pernyataan allah bersifat tahu itu ialah menisbahkan Dzat-Nya
sebagai yang bersifat tahu dan menafikan dia sebagai bersifat bodoh, Allah
bersifat kuasa itu menisbahkan dzatnya sebagai yang bersifat kuasa dan
menafikan dia sebagai bersifat lemah.
6.
Mu’ammar[8]
beranggapan bahwa allah bersifat tahu itu dengan pengetahuan, dimana
pengetahuannya tersebut semata-mata untuk sesuatu makna, bukan untuk sesuatu
tujuan , dan begitupun dengan anggapannya tentang sifat-sifat lainnya yang ada
pada allah, yang kesemuannya ini diceritakan kepadaku oleh Abu Amr Al-Furati
dari Muhammad ibn Isa Al-Sayyarafi.
Mereka pun beranggapan, bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu
berarti dia bersifat hidup, bahkan tidaklah allah yang bersifat tahu itu
berarti pula dia bersifat kuasa, dan bukanlah allah yang bersifat terdahulu itu
berarti dia bersifat tahu, sehingga tidaklah allah yang bersifat hidup itu
berarti pula dia bersifat kuasa.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Tuhan bagi
Mu’tazilah tetap maha tahu, maha kuasa, maha hidup, maha mendengar, maha
melihat dan sebagainya, tetapi semua ini tak dapat dipisahkan oleh dzat tuhan.
Dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi tuhan. Selanjutnya kaum
mu’tazilah membagi sifat-sifat tuhan kedalam dua golongan[9]:
3.
Sifat-
sifat yang merupakan esensi tuhan dan disebut sifat Dzatiah
4.
Sifat-sifat
yang merupakan perbuatan tuhan, yang disebut sifat fi’liyah.
Sifat-sifat perbuatan terdiri dari sifat-sifat yang mengandung arti
hubungan antara tuhan dengan makhluknya, seperti kehendak ( al iradah ),
sabda ( al kalam ), keadilan ( al-‘adl ), dan sebagainya.
Yang dimaksud sifat esensi umpamanya, wujud ( al wujud ), kekekalan dimasa lampau ( al-qidam ), hidup ( al-hayah ), kekuasaan ( al-qudrah ).
Dengan demikian yang dimaksud kaum mu’’tazilah dengan peniadaan
sifat-sifat tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain
sifat, sebagai esensi tuhan, dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan
tuhan. Paham ini timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya
kemahaesaan tuhan yang disebut tanzih.
DAFTAR PUSTAKA
·
Abdul
Razak, Rosihon anwar. 2010.ilmu kalam.Bandung : CV Pustaka Setia.
·
Nasir
Yusuf, karsidi diningrat.1998.prinsip-prinsip dasar aliran theology islam.Bandung:
CV Pustaka Setia.
·
Nasution,Harun.2010.Teologi
islam.jakarta : UI Press.
[1]
.DR. Abdul Razaq, Rasyihan Anwar, ilmu kalam, 167
[2] Harun Nasution, Teologi Islam, 48
[3] Nasir Yusuf, Karsidi Diningrat,
Prinsip-Prinsip Dasar Aliran Teologi Islam buku 1, 223
[4]
Ibid. hal 225
[5]
Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.
[6]
Dhirar ibn Amr adalah pemimpin aliran Dhirariyah, yang muncul pada masa
pemerintahan Washil ibn Atha’
[7]
Abu Ishak Ibrahim ibn Sayyar ini yang lebi dikenal dengan Al-Nizham, ialah
seorang keponakan Abu Al-Hudzail a-Alaf.
[8]
Muammar ibn Abbad Al-Silmi ini, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Amr,
hidup dimasa Khalifah Harun Al- Rasyid.
[9]
Harun Nasution. Teologi islam, hal 52.
Mumet ndase
BalasHapus