Sabtu, 29 Juni 2013

Makalah Jinayat

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
 Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad saw sebagai pembawa rahmat bagi semua alam. Syariat islam dibuat guna melindungi jiwa, agama, keturunan, harta, dan harga diri sesama makhluk. Bahkan dalam haditsnya nabi Muhammad secara jelas mengatakan bahwa tujuan pengutusannya adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Seorang muslim satu dengan lainnya diibaratkan bagaikan sesosok tubuh dimana bila satu anggota merasakan sakit maka anggota badan yang lainnya akan merasakan sakit juga.
Tidak ada seorangpun didunia ini yang mau dilahirkan sebagai seorang budak, seorang pelayan, seorang buruh kasar, seorang yang teraniaya, seorang yang beragama nasrani, yahudi, majusi. Seandainya manusia boleh memilih ketika akan dilhirkan, niscaya akan memilih dilahirkan dan ditakdirkan sebagai orang yang sukses didunia maupun diakhirat.
Untuk merealisasikan kehidupan yang penuh dengan rahmat, Allah mensyariatkan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Pensyariatan ini tidak lain adalah sebagai tindakan prefentif agar seorang tidak coba-coba untuk membunuh.
Pensyariatan qishash tidak lain adalah sebagai bukti kecintaan Allah kepada hambanya, bahkan dalam Al Quran di jelaskan bahwa penghilangan nyawa satu orang itu sama saja dengan penghilangan nyawa semua orang hal ini dikarenakan, apabila seseorang sudah berani untuk menghilangkan nyawa satu orang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan melakukannya untuk kesempatan berikutnya.
Namun, apabila wali dari korban ataupun ahli waris dari korban memaafkan pelaku tindak pidana pembunuhan tersebut, maka ia dikenakan kewajiban diyat sebagai rasa syukur atas keringanan yang diberikan wali atau ahli waris korban kepadanya.

2.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian jinayat
2.      Pembagian jinayat
3.      Pengertian diyat
4.      Pembagian diayat

3.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian jinayat
2.      Untuk mengetahui pembagian jinayat
3.      Untuk mengetahui pengertian diyat





B.  PEMBAHASAN
1.   Jinayat
Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang berasal dari “ (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash, membayar diyat atau kafarah.[1]
An nafsi menurut bahasa adalah jiwa. Jadi janayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang.

2.    Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
Jenis pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
1.   Pembunuhan sengaja, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan indikasi kesengajaan dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. Para imam madzhab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang islam yang sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, maka ia wajib menerima balasan qishas. Kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.[2]
Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak, berdasakan firman Allah, “Orang merdeka dengan orang merdeka”. (QS Al Baqarah: 178), dan di awal ayat, “diwajibkan atas kamu qishash.”. menegaskan harus berdasarkan persamaan status.
2.    Tidak sengaja, Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati.[3]
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan, atau menamparnya dengan keras. Menurut  pendapat Hanafi  dan Syafi’I: orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula. 
Firman Allah Surat An Nisa’: 92, “dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga siterbunuh itu.”  
3.    Pembunuhan semi sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak wajib qishash, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.

Ketiga jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Quran dan as-sunnah. Dalam al-Quran dijelaskan dua jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak sengaja (keliru), seperti dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun  murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa`: 92–93)
Sedangkan satunya lagi, yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi),  dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَلاَ إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا
“Ketahuilah, bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya adalah empat puluh ekor yang sedang hamil. “
Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’ dalam gugurnya hukuman qishash. [4]
Para imam madzhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk membunuh orang lain. Hanafi berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah orang yang memeaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah pelakunya. Syafi’i berpendapat: yang dibunuh adalah orang yang memaksanya, sedangkan orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling kuat adalah keduanya diqishash (orang yang memaksa dan orang yang dipaksa).
            para imam madzhab berbeda pendapat apabila ada seseorang yang memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: qishash dikenakan kepada pembunuhnya saja, sedangkan yang memeganginya terkena ta’zir. Maliki berkata: hal demikian berarti telah bersekutu antara orang yang memegang dan yang membunuh, yaitu berserikat untuk memebunuhnya, oleh karena itu, keduanya dikenakan qishash, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk membunuhnya jika tidak memegang, dan yang terbunuh tidak mampu melarikan diri setelah dipegang. Hambali: pembunuhnya dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi dipenjara hingga mati.[5]

3.    Diyat
Diyat secara bahasa adalah denda, balasan.
Sedangkan menurut taqiyyudin Abu Bakar Muhammad Al Hushna adalah harta yang wajib dibayarkan karena melakukan tindak pidana atas orang muslim baik terkait jiwa (nyawa) anggota tubuh.
Diyat merupakan ganti rugi yang diserahkan seorang pelaku pidana terhadap korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan orang lain.
Pensyariatan hukum diyat didasarkan firman Allah swt dalam surat An Nisa’ 92;
“.... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karen bersalah (hendaknya) memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang ddiserahkan kapada keluarganya si terbunuh itu.”
Diyat dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta, dengan rincian seagai berikut:
a.       30 unta hiqah (unta betina berumur tiga tahun memasuki empat tahun)
b.      30 unta jadz’ah (unta betina berumur empat tahun memasuki lima tahun)
c.       40 unta hilafah (unta betina yang sudah bunting)
2.      Diyat mukhofafah
Diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah. Adapun perinciyannya sebagai berikut:
a.       20 unta hiqah
b.      20 unta jadz’ah
c.       20 unta khilafah
d.      20 unta ibni labun
e.       20 unta binti makhad[6]
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang muslim lagi merdeka adalah 100 unta yang diambilkan dari harta pembunuh dengan sengaja apabila ia dilepaskan dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda diyatnya? Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: harus segera dibayar. Hanafi berpendapat: boleh ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda penndapat tentang diyat pembunuhan yang disengaja. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: unta-unta diyat tersebut dibagi empat bagian , masing-masing 25 ekor. Keempat bagian itu sebagai berikut: 1.) 25 ekor bintu kamal 2.) 25 ekor bintu labun 3.) 25 ekor hiqqah 4.) 25 ekor jadz’ah.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: boleh dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta. Sedamgkan menurut Syafi’i: unta tidak boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka Syafi’i mempunyai dua pendapat. 1.) qoul jadid yang paling kuat adalah boleh diganti dengan harganya sesuai dengan harga ketika menerima diyat. 2.) qoul qadim yang menyatakan boleh diganti dengan 1000 dinar 12000 dirham, dan hal ini dapat dilakukan jika memang terpaksa.



C.    KESIMPULAN
a.    Jinayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang
b.    jinayat terhadap jiwa terbagi menjadi tiga: 1.) pembunuhan sengaja. 2.) pembunuhan semi sengaja. 3.) bembunuhan tidak sengaja.
c.    Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak,
d.   Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash
e.    Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta.
f.     Diyat mukhofafah, diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ø  Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Bandung: CV SINAR BARU
Ø  Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Jakarta: Al Haramain
Ø  Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam. Jakarta: Darus Sunnah
Ø  Syaikh Muhammad, Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi
Ø  http// www.jinayat.com







[1] http//www.jinayat.com
[2] Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Hal: 430
[3] ibid
[4] Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam.jilid III. Hal: 215
[5] Syaikh Muhammad, Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Hal: 422
[6] Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Juz II. Hal: 165

Hukum Nikah Beda Agama

HUKUM NIKAH BEDA AGAMA

Seringkali kita jumpai pertanyaan & ldquo; apa hukumnya bila nikah beda agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam ? & rdquo;. Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya non muslim, seperti di Australia ini. Untuk itu pada rubrik fikih kali ini tim redaksi menampilkan fikih berkenaan dengan nikah beda Agama.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1.       Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
2.       Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
1.       Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al-Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintahperintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Jadi, wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam

2.       Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
a)    Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5,“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam)maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
b)    Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):222,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2, menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat melarang. Dari sebuah literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya. Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al- Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah. Sementara itu, Imam Syafi dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut,
Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, maka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.

Majalah Al Hijrah
http://alhijrah.cidensw.net Powered by Joomla! Dibuat pada: 4 August, 2011, 15:58

Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah. Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah. Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik. Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1)    Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2)    Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3)    Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4)    Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram

Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta melindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi, agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.

(Tim redaksi dari berbagai sumber)
Majalah Al Hijrah

http://alhijrah.cidensw.net Powered by Joomla! Dibuat pada: 4 August, 2011, 15:58

Makalah Qoul Shahabi

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Hukum Islam mengalami tantangan lebih serius, terutama abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai pertanyaan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya tidak tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqh hasil ijtihad dimasa lampau. Alasannya karena ternyata warisan fiqh yang ada dalam kitab-kitab klasik bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi juga karena banyak pendapat yang kurang relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu umat muslim harus menggali lebih dalam lagi dasar-dasar hukum fiqh agar dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi di zaman modern ini.

PEMBAHASAN
QOUL SHAHABI
A.    Pengertian Qoul Shahabi
Yang dimaksud dengan qoul shahabi ialah pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelakan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup bersama Rasul saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya serta beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
B.     Pembagian Qoul Shahabi
      Qoul sahabi dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Qoul Marfu’
Qoul marfu’ dibagi menjadi dua
1.      Marfu’ haqiqah contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. Rasul bersabda” ketika seseorang lupa, maka makan dan minumlah kemudian sempurnakanlah puasanya. Karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.”
2.      Marfu’ secara hukum contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darami dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra Ibnu Abbas berkata” kami diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu”
Ø  Hukum Marfu’
Marfu’ ada yang sahih dengan sendirinya dan ada yang sahih karena selainnya. Hasan dengan sendirinya dan hasan karena selainya. 4 macam itu menjadi hujjah dalam masalah hukum amaliah dan aqidah. Qoul marfu’ lebih didahulukan dari qiyas dan bisa dinaskh al kitab, dan tidak bertentangan dengan ijma’ qath’I dan jika bertentangan maka dinaskh dengan menyandarkan ijma’ dan mendahulukan ijma’ yang qath’I yang lebih kuat untuk dijadikan dalil jika bertentangan dengan ijma’ dhanni.
Ø  Yang menjadi acuan adalah riwayatnya adalah rowi, bukan dengan pandangannya.
Ketika sahabat menentukan hukum dalam suatu masalah dan meriwayatkan masalah tersendiri yang bertentangan dengan ra’yunya, maka sudah pasti mendahulukan nash atas ra’yu. Hal itu karena jika sesungguhnya ra’yu itu benar maka tidak bertentangan dengan dalil naqli yang shahih.
Ø  Perbuatan sahabat yang jelas karena haditsnya
Perbuatan sahabat ialah sesuatu yang menjadi pandangan sahabat tetapi diaplikasikan dalam perbuatan. Jika terjadi pertentangan  dengan apa yang diriwayatkan maka yang terpenting adalah apa yang diriwayatkan bukan apa yang dilakukan. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanadnya dari Abu Hurairah “Peliharalah jenggot, cukurlah kumis, carilah uban dan janganlah menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.
Hadits ini menjadi nash dalam hukum wajibnya membiyarkan jenggot sesuai bentuknya yang telah Allah ciptakan. Kewajiban ini adalah kewajiban mencukur sebagian jenggot. Tetapi menjadi tetap bahwa Abu Hurairah mencukur jenggotnya maka hujah yang demikian adalah di dalam riwayat bukan pada perbuatan Abu Hurairah. Demikian juga hadits Abu Hurairah mengenai barang yang dijilat anjing anjing.
b.      Qoul Mauquf
Qoul shahih yang mauquf terkadang shahih, hasan atau dho’if. Qoul mauquf bisa dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.       Masyhurnya qoul
b.      Tidak bertentangan dengan qoul yang lain
c.       Tidak bertentangan dengan nash al quran dan hadits
      Adapun yang yang berkaitan dengan syarat yang pertama, maka yang dimaksud dengan masyhurnya qoul adalah adanya pengakuan sahabat atas qoul tersebut. Karena mereka tidak ragu, mereka tidak akan diam dalam hal kebaikan. Syarat yang kedua adalah tidak bertentangan karena sesungguhnya salah satu dari mereka tidak ada yang lebih diutamakan dari pada yang lain. Syarat yang ketiga ialah tidak bertentangan dengan nash, karena sesungguhnya jika bertentangan dengan nash maka qoul tersebut batal.
Ø  Hukum qoul sahabi mauquf
Jika didalamnya terdapat syarat-syarat yang telah disebutkan maka qoul tersebut menempati urutan ke-4 setelah al-quran, hadits dan ijma’

Ø  Penempatan qoul-qoul sahabat
Ibnu Taimiyah berkata “ Sungguh saya berharap dari bab ini akan kehendak Allah, saya telah melihat ahli fiqhnya umat yang alim dan saya mengambil masalah iman, nadzar, memerdekakan budak, talak dan selain masalah tersebut serta masalah-masalah yang berhubungan dengan talak dengan beberapa syarat. Sungguh saya telah menjelaskan apa yang telah ia tulis. Sesungguhnya sesuatu yang datangnya dari sahabat ia adalah paling sahihnya ucapan dalam menghukumi dan mengqiyaskan, mengambil dalil alkitab, sunnah dan perputaran qiyas yang jelas.
Jika para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”

C.     Kekuatan Qoul Sahabi Sebagai Sandaran Hukum
Apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah al-qur’an, hadits dan ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori.
1.      Fatwa shahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad, misalnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan besar kemungkinan mereka terima dari Rasul saw. Oleh karena itu fatwa-fatwa seperti itu harus diikuti oleh generasi sesudahnya.
2.      Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3.      Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para sahabat di kalangan mujtahid memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat yang lain
4.      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan pada ra’yu dan ijtihad
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Terdapat beberapa pendapat dalam masalah ini. Menurut Wahbah Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan menjadi dua pendapat sebagai berikut :
1.      Menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik dan Imam Syafi’I dan pendapat terkuat Imam Ahmad Bin Hanbal bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi selanjutnya. Dengan alasan :
a.       Firman Allah “ Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah swt. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( Ali Imran 110 )
Ayat tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah ma’ruf dan harus diikiuti.

b.      Sabda Rasullullah “ Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapapun diantara mereka yang kalian ikuti maka akan mendapat petunjuk”
Hadits tersebut menurut aliran pengikut ini menunjukan wajibnya mengikuti fatwa sahabat. Tetapi menurut  Ibnu Hazm, hadits ini merupakan hadits maudlu’yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
2.      Menurut salah satu riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Dengan alasan :
a.       Firman Allah “ Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Al-hasyr : 2)

Yang dimaksud dengan mengambil pelajaran dalam ayat tersebut menurut mereka ialah melakukan ijtihad. Dengan demikian ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad, sedangkan mengikuti fatwa sahabat berarti mujtahid tersebut bertaqlid dengan sahabat tersebut yang bertentangan dengan kehendak ayat tersebut yang menyuruh mereka berijtihad.

b.      Para sahabat bukan orang ma’sum. Sama dengan para mujtahid lainnya. Oleh sebab itu, fatwa mereka mengandung kebolehjadian keliru.  Sesuatu yang boleh jadi keliru tidak layak untuk diikuti.
Muhammad Abu Zahrah ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama yaitu bahwa fatwa sahabat boleh dijadikan pegangan lebih kuat untuk dipegang alasanya, bahwa para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Rasul saw. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasul dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat, serta orang yang paling tahu setelah Rasul. Tentang maksud dari ayat atau hadits Rasul. oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dijadikan rujukan.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan qoul shahabi ialah pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelakan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup bersama Rasul saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya serta beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
Qoul shahabi yang mauquf terkadang shahih, hasan atau dho’if. Qoul mauquf bisa dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.       Masyhurnya qoul
b.      Tidak bertentangan dengan qoul yang lain
c.       Tidak bertentangan dengan nash al quran dan hadits
Jika para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Effendi, Satria. 2008.Ushul Fiqh Jakarta; Kencana
Ø  Mustafa Bin Muhammad Bin Salamah, Abi Islam. At-Ta’sis Fi Ushulil Fiqh Ala Dhau’il Kitab Wa Sunnah