Sabtu, 29 Juni 2013

Makalah Jinayat

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
 Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad saw sebagai pembawa rahmat bagi semua alam. Syariat islam dibuat guna melindungi jiwa, agama, keturunan, harta, dan harga diri sesama makhluk. Bahkan dalam haditsnya nabi Muhammad secara jelas mengatakan bahwa tujuan pengutusannya adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Seorang muslim satu dengan lainnya diibaratkan bagaikan sesosok tubuh dimana bila satu anggota merasakan sakit maka anggota badan yang lainnya akan merasakan sakit juga.
Tidak ada seorangpun didunia ini yang mau dilahirkan sebagai seorang budak, seorang pelayan, seorang buruh kasar, seorang yang teraniaya, seorang yang beragama nasrani, yahudi, majusi. Seandainya manusia boleh memilih ketika akan dilhirkan, niscaya akan memilih dilahirkan dan ditakdirkan sebagai orang yang sukses didunia maupun diakhirat.
Untuk merealisasikan kehidupan yang penuh dengan rahmat, Allah mensyariatkan hukum qishash bagi pelaku pembunuhan. Pensyariatan ini tidak lain adalah sebagai tindakan prefentif agar seorang tidak coba-coba untuk membunuh.
Pensyariatan qishash tidak lain adalah sebagai bukti kecintaan Allah kepada hambanya, bahkan dalam Al Quran di jelaskan bahwa penghilangan nyawa satu orang itu sama saja dengan penghilangan nyawa semua orang hal ini dikarenakan, apabila seseorang sudah berani untuk menghilangkan nyawa satu orang, maka tidak menutup kemungkinan bahwa ia akan melakukannya untuk kesempatan berikutnya.
Namun, apabila wali dari korban ataupun ahli waris dari korban memaafkan pelaku tindak pidana pembunuhan tersebut, maka ia dikenakan kewajiban diyat sebagai rasa syukur atas keringanan yang diberikan wali atau ahli waris korban kepadanya.

2.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian jinayat
2.      Pembagian jinayat
3.      Pengertian diyat
4.      Pembagian diayat

3.      Tujuan Penulisan Makalah
1.      Untuk mengetahui pengertian jinayat
2.      Untuk mengetahui pembagian jinayat
3.      Untuk mengetahui pengertian diyat





B.  PEMBAHASAN
1.   Jinayat
Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang berasal dari “ (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash, membayar diyat atau kafarah.[1]
An nafsi menurut bahasa adalah jiwa. Jadi janayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang.

2.    Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
Jenis pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
1.   Pembunuhan sengaja, yaitu perbuatan menghilangkan nyawa orang lain dengan indikasi kesengajaan dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh. Para imam madzhab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang islam yang sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, maka ia wajib menerima balasan qishas. Kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.[2]
Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak, berdasakan firman Allah, “Orang merdeka dengan orang merdeka”. (QS Al Baqarah: 178), dan di awal ayat, “diwajibkan atas kamu qishash.”. menegaskan harus berdasarkan persamaan status.
2.    Tidak sengaja, Misalnya seseorang melontarkan suatu barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya itu mati.[3]
Para imam madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan, atau menamparnya dengan keras. Menurut  pendapat Hanafi  dan Syafi’I: orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula. 
Firman Allah Surat An Nisa’: 92, “dan barang siapa membunuh orang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga siterbunuh itu.”  
3.    Pembunuhan semi sengaja, yaitu sengaja memukul orang, tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak wajib qishash, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga yang membunuh, diangsur dalam tiga tahun.

Ketiga jenis ini didasarkan kepada penjelasan al-Quran dan as-sunnah. Dalam al-Quran dijelaskan dua jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak sengaja (keliru), seperti dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mumin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun  murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa`: 92–93)
Sedangkan satunya lagi, yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi),  dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَلاَ إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا
“Ketahuilah, bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya adalah empat puluh ekor yang sedang hamil. “
Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’ dalam gugurnya hukuman qishash. [4]
Para imam madzhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk membunuh orang lain. Hanafi berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah orang yang memeaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah pelakunya. Syafi’i berpendapat: yang dibunuh adalah orang yang memaksanya, sedangkan orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling kuat adalah keduanya diqishash (orang yang memaksa dan orang yang dipaksa).
            para imam madzhab berbeda pendapat apabila ada seseorang yang memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: qishash dikenakan kepada pembunuhnya saja, sedangkan yang memeganginya terkena ta’zir. Maliki berkata: hal demikian berarti telah bersekutu antara orang yang memegang dan yang membunuh, yaitu berserikat untuk memebunuhnya, oleh karena itu, keduanya dikenakan qishash, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk membunuhnya jika tidak memegang, dan yang terbunuh tidak mampu melarikan diri setelah dipegang. Hambali: pembunuhnya dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi dipenjara hingga mati.[5]

3.    Diyat
Diyat secara bahasa adalah denda, balasan.
Sedangkan menurut taqiyyudin Abu Bakar Muhammad Al Hushna adalah harta yang wajib dibayarkan karena melakukan tindak pidana atas orang muslim baik terkait jiwa (nyawa) anggota tubuh.
Diyat merupakan ganti rugi yang diserahkan seorang pelaku pidana terhadap korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota badan orang lain.
Pensyariatan hukum diyat didasarkan firman Allah swt dalam surat An Nisa’ 92;
“.... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karen bersalah (hendaknya) memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang ddiserahkan kapada keluarganya si terbunuh itu.”
Diyat dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta, dengan rincian seagai berikut:
a.       30 unta hiqah (unta betina berumur tiga tahun memasuki empat tahun)
b.      30 unta jadz’ah (unta betina berumur empat tahun memasuki lima tahun)
c.       40 unta hilafah (unta betina yang sudah bunting)
2.      Diyat mukhofafah
Diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah. Adapun perinciyannya sebagai berikut:
a.       20 unta hiqah
b.      20 unta jadz’ah
c.       20 unta khilafah
d.      20 unta ibni labun
e.       20 unta binti makhad[6]
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang muslim lagi merdeka adalah 100 unta yang diambilkan dari harta pembunuh dengan sengaja apabila ia dilepaskan dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda diyatnya? Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: harus segera dibayar. Hanafi berpendapat: boleh ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda penndapat tentang diyat pembunuhan yang disengaja. Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: unta-unta diyat tersebut dibagi empat bagian , masing-masing 25 ekor. Keempat bagian itu sebagai berikut: 1.) 25 ekor bintu kamal 2.) 25 ekor bintu labun 3.) 25 ekor hiqqah 4.) 25 ekor jadz’ah.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: boleh dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta. Sedamgkan menurut Syafi’i: unta tidak boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang dikehendaki oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka Syafi’i mempunyai dua pendapat. 1.) qoul jadid yang paling kuat adalah boleh diganti dengan harganya sesuai dengan harga ketika menerima diyat. 2.) qoul qadim yang menyatakan boleh diganti dengan 1000 dinar 12000 dirham, dan hal ini dapat dilakukan jika memang terpaksa.



C.    KESIMPULAN
a.    Jinayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang
b.    jinayat terhadap jiwa terbagi menjadi tiga: 1.) pembunuhan sengaja. 2.) pembunuhan semi sengaja. 3.) bembunuhan tidak sengaja.
c.    Al Hadawiyyah, Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila membunuh budak,
d.   Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash
e.    Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta.
f.     Diyat mukhofafah, diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah

D.    DAFTAR PUSTAKA
Ø  Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Bandung: CV SINAR BARU
Ø  Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Jakarta: Al Haramain
Ø  Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam. Jakarta: Darus Sunnah
Ø  Syaikh Muhammad, Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi
Ø  http// www.jinayat.com







[1] http//www.jinayat.com
[2] Rasjid, Sulaiman. 2007. Fiqih Islam. Hal: 430
[3] ibid
[4] Ismail, Muhammad. 2010. Subulus Salam.jilid III. Hal: 215
[5] Syaikh Muhammad, Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Hal: 422
[6] Al Husaini Al Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Juz II. Hal: 165

Tidak ada komentar:

Posting Komentar