A.
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh
Allah melalui nabi Muhammad saw sebagai pembawa rahmat bagi semua alam. Syariat
islam dibuat guna melindungi jiwa, agama, keturunan, harta, dan harga diri
sesama makhluk. Bahkan dalam haditsnya nabi Muhammad secara jelas mengatakan
bahwa tujuan pengutusannya adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Seorang
muslim satu dengan lainnya diibaratkan bagaikan sesosok tubuh dimana bila satu
anggota merasakan sakit maka anggota badan yang lainnya akan merasakan sakit
juga.
Tidak
ada seorangpun didunia ini yang mau dilahirkan sebagai seorang budak, seorang
pelayan, seorang buruh kasar, seorang yang teraniaya, seorang yang beragama
nasrani, yahudi, majusi. Seandainya manusia boleh memilih ketika akan dilhirkan,
niscaya akan memilih dilahirkan dan ditakdirkan sebagai orang yang sukses
didunia maupun diakhirat.
Untuk
merealisasikan kehidupan yang penuh dengan rahmat, Allah mensyariatkan hukum
qishash bagi pelaku pembunuhan. Pensyariatan ini tidak lain adalah sebagai
tindakan prefentif agar seorang tidak coba-coba untuk membunuh.
Pensyariatan
qishash tidak lain adalah sebagai bukti kecintaan Allah kepada hambanya, bahkan
dalam Al Quran di jelaskan bahwa penghilangan nyawa satu orang itu sama saja
dengan penghilangan nyawa semua orang hal ini dikarenakan, apabila seseorang
sudah berani untuk menghilangkan nyawa satu orang, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa ia akan melakukannya untuk kesempatan berikutnya.
Namun,
apabila wali dari korban ataupun ahli waris dari korban memaafkan pelaku tindak
pidana pembunuhan tersebut, maka ia dikenakan kewajiban diyat sebagai rasa
syukur atas keringanan yang diberikan wali atau ahli waris korban kepadanya.
2. Rumusan Masalah
1. Pengertian jinayat
2. Pembagian jinayat
3. Pengertian diyat
4. Pembagian diayat
3. Tujuan Penulisan Makalah
1. Untuk mengetahui
pengertian jinayat
2. Untuk mengetahui
pembagian jinayat
3. Untuk mengetahui
pengertian diyat
B. PEMBAHASAN
1. Jinayat
Kata “jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak
dari kata “jinayah”, yang berasal dari “ (جَنَى
الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ جِنَايَةً), yang berarti
melakukan dosa.
Sekalipun merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat”
dipakai dalam bentuk jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa,
karena ia kadang mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun
tidak. Kata ini juga berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya
badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash, membayar diyat atau
kafarah.[1]
An nafsi menurut bahasa adalah jiwa. Jadi janayat an nafsi adalah suatu
tindak pidana yang berkaitan dengan nyawa orang.
2.
Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat (tindak pidana) terhadap badan
terbagi dalam dua jenis:
Jenis pertama, jinayat
terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang mengakibatkan hilangnya
nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
1. Pembunuhan sengaja,
yaitu perbuatan menghilangkan nyawa
orang lain dengan indikasi kesengajaan dengan cara dan alat yang biasanya dapat
membunuh.
Para imam madzhab sepakat bahwa seseorang yang membunuh orang islam yang
sama-sama merdeka, dan yang dibunuh itu bukan anaknya, maka ia wajib menerima
balasan qishas. Kecuali apabila dimaafkan oleh ahli waris yang terbunuh dengan
membayar diyat (denda) atau dimaafkan sama sekali.[2]
Al Hadawiyyah, Syafi’I,
Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash apabila
membunuh budak, berdasakan firman Allah, “Orang merdeka dengan orang
merdeka”. (QS Al Baqarah: 178), dan di awal ayat, “diwajibkan atas kamu
qishash.”. menegaskan harus berdasarkan persamaan status.
2.
Tidak sengaja, Misalnya seseorang melontarkan suatu
barang yang tidak disangka akan kena orang lain sehingga menyebabkan orang itu
mati, atau seseorang terjatuh menimpa orang lain sehingga orang yang ditimpanya
itu mati.[3]
Para imam madzhab
berbeda pendapat tentang seseorang yang membunuh orang lain dengan tidak
sengaja, memukul dengan sesuatu yang menurut kebiasaannya tidak mematikan, meninjunya dengan kepala tangan,
atau menamparnya dengan keras. Menurut
pendapat Hanafi dan Syafi’I:
orang tersebut dikenai diyat saja. Namun menurut pendapat Syafi’I: jika pukulan
itu berulang-ulang kali yang mengakibatkan kematian maka ia dikenai hukum bunuh
pula. Sedang menurut pendapat Maliki: wajib dikenai hukum bunuh pula.
Firman Allah Surat An Nisa’: 92, “dan barang
siapa membunuh orang mukmin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarga siterbunuh itu.”
3. Pembunuhan semi sengaja, yaitu sengaja memukul orang,
tetapi dengan alat yang enteng (biasanya tidak untuk membunuh orang) misalnya
dengan cemeti, kemudian orang itu mati dengan cemeti itu. Dalam hal ini tidak
wajib qishash, hanya diwajibkan membayar diyat yang berat atas keluarga yang
membunuh, diangsur dalam tiga tahun.
Ketiga jenis ini
didasarkan kepada penjelasan al-Quran dan as-sunnah. Dalam al-Quran dijelaskan
dua jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak sengaja (keliru),
seperti dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ
مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن
كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ
مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ
فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ
عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً
عَظِيماً
“Dan tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh
seorang mumin karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari
kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka
(hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun murka
kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs. An-Nisa`: 92–93)
Sedangkan satunya lagi, yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja
(syibhu al-’amdi), dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda,
أَلاَ
إِنَّ دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا
مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا
“Ketahuilah, bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu
yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya
adalah empat puluh ekor yang sedang hamil. “
Jumhur sahabat dan lainnya
seperti Al Hadawiyyah, Hanafi, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq berpendapat bahwa
bapak yang membunuh anaknya tidak diqishash, berdasarkan hadits: “dari Umar
bin Khathab r.a berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda seorang ayah
tidak ditutuntut karena membunuh anaknya”( HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Seorang kakek dan ibu sama kedudukannya dengan bapak menurut jumhur ulama’
dalam gugurnya hukuman qishash. [4]
Para imam madzhab berbeda pendapat, apabila seseorang dipaksa untuk
membunuh orang lain. Hanafi berpendapat: yang dikenai hukum bunuh adalah orang
yang memeaksa, bukan pelaku pembunuhan itu. Maliki dan Hambali berpendapat: yang
dikenai hukum bunuh adalah pelakunya. Syafi’i berpendapat: yang dibunuh adalah
orang yang memaksanya, sedangkan orang yang dipaksa, Syafi’i mempunyai dua
pendapat, dan pendapatnya yang paling kuat adalah keduanya diqishash (orang
yang memaksa dan orang yang dipaksa).
para imam madzhab berbeda
pendapat apabila ada seseorang yang memegang orang lain, lalu orang itu dibunuh
oleh orang lain. Hanafi dan Syafi’i mengatakan: qishash dikenakan kepada
pembunuhnya saja, sedangkan yang memeganginya terkena ta’zir. Maliki berkata:
hal demikian berarti telah bersekutu antara orang yang memegang dan yang
membunuh, yaitu berserikat untuk memebunuhnya, oleh karena itu, keduanya
dikenakan qishash, yaitu apabila pembunuh tidak memungkinkan untuk membunuhnya
jika tidak memegang, dan yang terbunuh tidak mampu melarikan diri setelah
dipegang. Hambali: pembunuhnya dihukum bunuh, sedangkan orang yang memegangi
dipenjara hingga mati.[5]
3.
Diyat
Diyat secara bahasa adalah denda, balasan.
Sedangkan menurut taqiyyudin Abu Bakar Muhammad Al Hushna adalah harta yang
wajib dibayarkan karena melakukan tindak pidana atas orang muslim baik terkait
jiwa (nyawa) anggota tubuh.
Diyat merupakan ganti rugi yang diserahkan seorang pelaku pidana terhadap
korban atau ahli warisnya dalam tindak pidana pembunuhan atau kejahatan
terhadap anggota badan orang lain.
Pensyariatan hukum diyat didasarkan firman Allah swt dalam surat An Nisa’
92;
“.... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karen bersalah (hendaknya)
memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang ddiserahkan
kapada keluarganya si terbunuh itu.”
Diyat dalam hal ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan
orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta, dengan rincian
seagai berikut:
a.
30 unta hiqah (unta betina berumur tiga tahun memasuki
empat tahun)
b.
30 unta jadz’ah (unta betina berumur empat tahun memasuki
lima tahun)
c.
40 unta hilafah (unta betina yang sudah bunting)
2.
Diyat mukhofafah
Diyat ini
diperuntukkan bagi pembunuhan orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah.
Adapun perinciyannya sebagai berikut:
a.
20 unta hiqah
b.
20 unta jadz’ah
c.
20 unta khilafah
d.
20 unta ibni labun
e.
20 unta binti makhad[6]
Para imam mazhab sepakat bahwa diyat seorang muslim lagi merdeka adalah 100
unta yang diambilkan dari harta pembunuh dengan sengaja apabila ia dilepaskan
dari qisas pada pembayaran diyat.
Para imam madzhab berbeda pendapat, apakah diyat tersebut boleh ditunda
diyatnya? Maliki, Syafi’i dan Hambali berpendapat: harus segera dibayar. Hanafi
berpendapat: boleh ditunda hingga tiga tahun.
Para imam mazhab berbeda penndapat tentang diyat pembunuhan yang disengaja.
Menurut pendapat Hanafi dan Hambali dalam salah satu riwayatnya: unta-unta diyat
tersebut dibagi empat bagian , masing-masing 25 ekor. Keempat bagian itu
sebagai berikut: 1.) 25 ekor bintu kamal 2.) 25 ekor bintu labun 3.) 25 ekor
hiqqah 4.) 25 ekor jadz’ah.
Para imam madzhab berbeda pendapat mengenai dinar dan dirham, apakah
keduanya boleh dijadikan diyat? Menurut pendapat Hanafi dan Hambali: boleh
dijadikan sebagai diyat, walaupun ada unta. Sedamgkan menurut Syafi’i: unta
tidak boleh diganti dengan yang lain jika ada unta, kecuali ada kesepakatan yang
dikehendaki oleh kedua belah pihak. Adapun, jika unta tidak diperoleh maka
Syafi’i mempunyai dua pendapat. 1.) qoul jadid yang paling kuat adalah boleh
diganti dengan harganya sesuai dengan harga ketika menerima diyat. 2.) qoul
qadim yang menyatakan boleh diganti dengan 1000 dinar 12000 dirham, dan hal ini
dapat dilakukan jika memang terpaksa.
C.
KESIMPULAN
a.
Jinayat an nafsi adalah suatu tindak pidana yang
berkaitan dengan nyawa orang
b.
jinayat terhadap
jiwa terbagi menjadi tiga: 1.)
pembunuhan sengaja. 2.) pembunuhan semi sengaja. 3.) bembunuhan tidak sengaja.
c.
Al Hadawiyyah,
Syafi’I, Maliki, dan Ahmad berpendapat bahwa orang merdeka tidak diqishash
apabila membunuh budak,
d.
Jumhur sahabat dan lainnya seperti Al Hadawiyyah, Hanafi,
Syafi’i, Ahmad, dan ishaq berpendapat bahwa bapak yang membunuh anaknya tidak
diqishash
e.
Diyat mughaladhah, yaitu diyat yang disebabkan penbunuhan
orang muslim merdeka secara sengaja, diyatnya sebanyak 100 unta.
f.
Diyat mukhofafah, diyat ini diperuntukkan bagi pembunuhan
orang islam merdeka tidak sengaja atau tersalah
D.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Rasjid, Sulaiman.
2007. Fiqih Islam. Bandung: CV SINAR BARU
Ø
Al Husaini Al
Husna, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad. 2004. Kifayatul Ahyar. Jakarta: Al
Haramain
Ø
Ismail,
Muhammad. 2010. Subulus Salam. Jakarta: Darus Sunnah
Ø
Syaikh Muhammad,
Al Allamah. 2010. Fiqih Empat Mazhab. Bandung: Hasyimi
Ø
http//
www.jinayat.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar