Sabtu, 29 Juni 2013

Makalah Qoul Shahabi

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Hukum Islam mengalami tantangan lebih serius, terutama abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai pertanyaan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya tidak tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqh hasil ijtihad dimasa lampau. Alasannya karena ternyata warisan fiqh yang ada dalam kitab-kitab klasik bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi juga karena banyak pendapat yang kurang relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu umat muslim harus menggali lebih dalam lagi dasar-dasar hukum fiqh agar dapat memecahkan masalah yang sedang dihadapi di zaman modern ini.

PEMBAHASAN
QOUL SHAHABI
A.    Pengertian Qoul Shahabi
Yang dimaksud dengan qoul shahabi ialah pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelakan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup bersama Rasul saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya serta beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
B.     Pembagian Qoul Shahabi
      Qoul sahabi dibagi menjadi dua yaitu :
a.       Qoul Marfu’
Qoul marfu’ dibagi menjadi dua
1.      Marfu’ haqiqah contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. Rasul bersabda” ketika seseorang lupa, maka makan dan minumlah kemudian sempurnakanlah puasanya. Karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.”
2.      Marfu’ secara hukum contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darami dengan sanadnya dari Ibnu Abbas ra Ibnu Abbas berkata” kami diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu”
Ø  Hukum Marfu’
Marfu’ ada yang sahih dengan sendirinya dan ada yang sahih karena selainnya. Hasan dengan sendirinya dan hasan karena selainya. 4 macam itu menjadi hujjah dalam masalah hukum amaliah dan aqidah. Qoul marfu’ lebih didahulukan dari qiyas dan bisa dinaskh al kitab, dan tidak bertentangan dengan ijma’ qath’I dan jika bertentangan maka dinaskh dengan menyandarkan ijma’ dan mendahulukan ijma’ yang qath’I yang lebih kuat untuk dijadikan dalil jika bertentangan dengan ijma’ dhanni.
Ø  Yang menjadi acuan adalah riwayatnya adalah rowi, bukan dengan pandangannya.
Ketika sahabat menentukan hukum dalam suatu masalah dan meriwayatkan masalah tersendiri yang bertentangan dengan ra’yunya, maka sudah pasti mendahulukan nash atas ra’yu. Hal itu karena jika sesungguhnya ra’yu itu benar maka tidak bertentangan dengan dalil naqli yang shahih.
Ø  Perbuatan sahabat yang jelas karena haditsnya
Perbuatan sahabat ialah sesuatu yang menjadi pandangan sahabat tetapi diaplikasikan dalam perbuatan. Jika terjadi pertentangan  dengan apa yang diriwayatkan maka yang terpenting adalah apa yang diriwayatkan bukan apa yang dilakukan. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan sanadnya dari Abu Hurairah “Peliharalah jenggot, cukurlah kumis, carilah uban dan janganlah menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.
Hadits ini menjadi nash dalam hukum wajibnya membiyarkan jenggot sesuai bentuknya yang telah Allah ciptakan. Kewajiban ini adalah kewajiban mencukur sebagian jenggot. Tetapi menjadi tetap bahwa Abu Hurairah mencukur jenggotnya maka hujah yang demikian adalah di dalam riwayat bukan pada perbuatan Abu Hurairah. Demikian juga hadits Abu Hurairah mengenai barang yang dijilat anjing anjing.
b.      Qoul Mauquf
Qoul shahih yang mauquf terkadang shahih, hasan atau dho’if. Qoul mauquf bisa dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.       Masyhurnya qoul
b.      Tidak bertentangan dengan qoul yang lain
c.       Tidak bertentangan dengan nash al quran dan hadits
      Adapun yang yang berkaitan dengan syarat yang pertama, maka yang dimaksud dengan masyhurnya qoul adalah adanya pengakuan sahabat atas qoul tersebut. Karena mereka tidak ragu, mereka tidak akan diam dalam hal kebaikan. Syarat yang kedua adalah tidak bertentangan karena sesungguhnya salah satu dari mereka tidak ada yang lebih diutamakan dari pada yang lain. Syarat yang ketiga ialah tidak bertentangan dengan nash, karena sesungguhnya jika bertentangan dengan nash maka qoul tersebut batal.
Ø  Hukum qoul sahabi mauquf
Jika didalamnya terdapat syarat-syarat yang telah disebutkan maka qoul tersebut menempati urutan ke-4 setelah al-quran, hadits dan ijma’

Ø  Penempatan qoul-qoul sahabat
Ibnu Taimiyah berkata “ Sungguh saya berharap dari bab ini akan kehendak Allah, saya telah melihat ahli fiqhnya umat yang alim dan saya mengambil masalah iman, nadzar, memerdekakan budak, talak dan selain masalah tersebut serta masalah-masalah yang berhubungan dengan talak dengan beberapa syarat. Sungguh saya telah menjelaskan apa yang telah ia tulis. Sesungguhnya sesuatu yang datangnya dari sahabat ia adalah paling sahihnya ucapan dalam menghukumi dan mengqiyaskan, mengambil dalil alkitab, sunnah dan perputaran qiyas yang jelas.
Jika para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”

C.     Kekuatan Qoul Sahabi Sebagai Sandaran Hukum
Apakah fatwa-fatwa mereka itu harus diikuti para mujtahid setelah al-qur’an, hadits dan ijma’ dalam menetapkan hukum atau tidak. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam empat kategori.
1.      Fatwa shahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad, misalnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan besar kemungkinan mereka terima dari Rasul saw. Oleh karena itu fatwa-fatwa seperti itu harus diikuti oleh generasi sesudahnya.
2.      Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3.      Fatwa sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para sahabat di kalangan mujtahid memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat yang lain
4.      Fatwa sahabat secara perorangan yang didasarkan pada ra’yu dan ijtihad
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa sahabat secara perorangan tersebut yang merupakan hasil ijtihad, apakah mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Terdapat beberapa pendapat dalam masalah ini. Menurut Wahbah Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan menjadi dua pendapat sebagai berikut :
1.      Menurut kalangan Hanafiyah, Imam Malik dan Imam Syafi’I dan pendapat terkuat Imam Ahmad Bin Hanbal bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi selanjutnya. Dengan alasan :
a.       Firman Allah “ Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah swt. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( Ali Imran 110 )
Ayat tersebut menurut mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah ma’ruf dan harus diikiuti.

b.      Sabda Rasullullah “ Para sahabatku bagaikan bintang-bintang, siapapun diantara mereka yang kalian ikuti maka akan mendapat petunjuk”
Hadits tersebut menurut aliran pengikut ini menunjukan wajibnya mengikuti fatwa sahabat. Tetapi menurut  Ibnu Hazm, hadits ini merupakan hadits maudlu’yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
2.      Menurut salah satu riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Dengan alasan :
a.       Firman Allah “ Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Al-hasyr : 2)

Yang dimaksud dengan mengambil pelajaran dalam ayat tersebut menurut mereka ialah melakukan ijtihad. Dengan demikian ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad, sedangkan mengikuti fatwa sahabat berarti mujtahid tersebut bertaqlid dengan sahabat tersebut yang bertentangan dengan kehendak ayat tersebut yang menyuruh mereka berijtihad.

b.      Para sahabat bukan orang ma’sum. Sama dengan para mujtahid lainnya. Oleh sebab itu, fatwa mereka mengandung kebolehjadian keliru.  Sesuatu yang boleh jadi keliru tidak layak untuk diikuti.
Muhammad Abu Zahrah ahli ushul fiqh berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama yaitu bahwa fatwa sahabat boleh dijadikan pegangan lebih kuat untuk dipegang alasanya, bahwa para sahabat adalah orang yang paling dekat dengan Rasul saw. Mereka banyak menyaksikan pembentukan hukum dari Rasul dan banyak mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat, serta orang yang paling tahu setelah Rasul. Tentang maksud dari ayat atau hadits Rasul. oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat dijadikan rujukan.


PENUTUP
A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan qoul shahabi ialah pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelakan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup bersama Rasul saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya serta beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
Qoul shahabi yang mauquf terkadang shahih, hasan atau dho’if. Qoul mauquf bisa dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.       Masyhurnya qoul
b.      Tidak bertentangan dengan qoul yang lain
c.       Tidak bertentangan dengan nash al quran dan hadits
Jika para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”
DAFTAR PUSTAKA
Ø  Effendi, Satria. 2008.Ushul Fiqh Jakarta; Kencana
Ø  Mustafa Bin Muhammad Bin Salamah, Abi Islam. At-Ta’sis Fi Ushulil Fiqh Ala Dhau’il Kitab Wa Sunnah



Tidak ada komentar:

Posting Komentar