PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum Islam mengalami tantangan lebih
serius, terutama abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab
berbagai pertanyaan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya
tidak tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqh hasil ijtihad dimasa
lampau. Alasannya karena ternyata warisan fiqh yang ada dalam kitab-kitab
klasik bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru
yang belum ada sebelumnya, tetapi juga karena banyak pendapat yang kurang
relevan dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu umat muslim harus menggali
lebih dalam lagi dasar-dasar hukum fiqh agar dapat memecahkan masalah yang
sedang dihadapi di zaman modern ini.
PEMBAHASAN
QOUL
SHAHABI
A.
Pengertian Qoul
Shahabi
Yang dimaksud dengan qoul shahabi ialah
pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelakan
secara tegas dalam al-qur’an dan sunah Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud
dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup bersama Rasul saw dalam waktu yang
cukup lama dan menimba ilmu darinya serta beriman kepadanya dan mati dalam
keadaan Islam.
B.
Pembagian Qoul
Shahabi
Qoul sahabi dibagi menjadi dua yaitu :
a. Qoul
Marfu’
Qoul marfu’ dibagi menjadi dua
1. Marfu’
haqiqah contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanadnya
dari Abu Hurairah ra dari Nabi Saw. Rasul bersabda” ketika seseorang lupa, maka makan dan minumlah kemudian sempurnakanlah puasanya.
Karena sesungguhnya Allah sedang memberi makan dan minum kepadanya.”
2. Marfu’
secara hukum contohnya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Darami dengan
sanadnya dari Ibnu Abbas ra Ibnu Abbas berkata” kami diperintahkan untuk menyempurnakan wudlu”
Ø
Hukum Marfu’
Marfu’
ada yang sahih dengan sendirinya dan ada yang sahih karena selainnya. Hasan
dengan sendirinya dan hasan karena selainya. 4 macam itu menjadi hujjah dalam
masalah hukum amaliah dan aqidah. Qoul marfu’ lebih didahulukan dari qiyas dan
bisa dinaskh al kitab, dan tidak bertentangan dengan ijma’ qath’I dan jika
bertentangan maka dinaskh dengan menyandarkan ijma’ dan mendahulukan ijma’ yang
qath’I yang lebih kuat untuk dijadikan dalil jika bertentangan dengan ijma’
dhanni.
Ø
Yang menjadi
acuan adalah riwayatnya adalah rowi, bukan dengan pandangannya.
Ketika
sahabat menentukan hukum dalam suatu masalah dan meriwayatkan masalah
tersendiri yang bertentangan dengan ra’yunya, maka sudah pasti mendahulukan
nash atas ra’yu. Hal itu karena jika sesungguhnya ra’yu itu benar maka tidak
bertentangan dengan dalil naqli yang shahih.
Ø
Perbuatan
sahabat yang jelas karena haditsnya
Perbuatan
sahabat ialah sesuatu yang menjadi pandangan sahabat tetapi diaplikasikan dalam
perbuatan. Jika terjadi pertentangan dengan
apa yang diriwayatkan maka yang terpenting adalah apa yang diriwayatkan bukan
apa yang dilakukan. Contohnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dengan
sanadnya dari Abu Hurairah “Peliharalah jenggot,
cukurlah kumis, carilah uban dan janganlah menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.
Hadits
ini menjadi nash dalam hukum wajibnya membiyarkan jenggot sesuai bentuknya yang
telah Allah ciptakan. Kewajiban ini adalah kewajiban mencukur sebagian jenggot.
Tetapi menjadi tetap bahwa Abu Hurairah mencukur jenggotnya maka hujah yang
demikian adalah di dalam riwayat bukan pada perbuatan Abu Hurairah. Demikian
juga hadits Abu Hurairah mengenai barang yang dijilat anjing anjing.
b. Qoul
Mauquf
Qoul shahih yang mauquf terkadang shahih, hasan atau
dho’if. Qoul mauquf bisa dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.
Masyhurnya qoul
b.
Tidak
bertentangan dengan qoul yang lain
c.
Tidak
bertentangan dengan nash al quran dan hadits
Adapun yang yang berkaitan dengan syarat
yang pertama, maka yang dimaksud dengan masyhurnya qoul adalah adanya pengakuan
sahabat atas qoul tersebut. Karena mereka tidak ragu, mereka tidak akan diam
dalam hal kebaikan. Syarat yang kedua adalah tidak bertentangan karena
sesungguhnya salah satu dari mereka tidak ada yang lebih diutamakan dari pada
yang lain. Syarat yang ketiga ialah tidak bertentangan dengan nash, karena
sesungguhnya jika bertentangan dengan nash maka qoul tersebut batal.
Ø
Hukum qoul
sahabi mauquf
Jika
didalamnya terdapat syarat-syarat yang telah disebutkan maka qoul tersebut
menempati urutan ke-4 setelah al-quran, hadits dan ijma’
Ø
Penempatan
qoul-qoul sahabat
Ibnu
Taimiyah berkata “ Sungguh saya berharap dari bab ini akan kehendak Allah, saya
telah melihat ahli fiqhnya umat yang alim dan saya mengambil masalah iman,
nadzar, memerdekakan budak, talak dan selain masalah tersebut serta
masalah-masalah yang berhubungan dengan talak dengan beberapa syarat. Sungguh
saya telah menjelaskan apa yang telah ia tulis. Sesungguhnya sesuatu yang
datangnya dari sahabat ia adalah paling sahihnya ucapan dalam menghukumi dan
mengqiyaskan, mengambil dalil alkitab, sunnah dan perputaran qiyas yang jelas.
Jika
para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya
dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”
C.
Kekuatan Qoul
Sahabi Sebagai Sandaran Hukum
Apakah fatwa-fatwa mereka itu harus
diikuti para mujtahid setelah al-qur’an, hadits dan ijma’ dalam menetapkan hukum
atau tidak. Dalam hal ini, Abdul Karim Zaidan membagi pendapat sahabat ke dalam
empat kategori.
1. Fatwa
shahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad, misalnya fatwa Ibnu Mas’ud bahwa
batas minimal waktu haid tiga hari dan batas minimal mas kawin sebanyak sepuluh
dirham. Fatwa-fatwa seperti ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat dan
besar kemungkinan mereka terima dari Rasul saw. Oleh karena itu fatwa-fatwa
seperti itu harus diikuti oleh generasi sesudahnya.
2. Fatwa
sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal dengan ijma’
sahabat. Fatwa seperti ini menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya.
3. Fatwa
sahabat secara perorangan yang tidak mengikat sahabat yang lain. Para sahabat
di kalangan mujtahid memang sering berbeda pendapat dalam satu masalah, namun
dalam hal ini fatwa sahabat tidak mengikat sahabat yang lain
4. Fatwa
sahabat secara perorangan yang didasarkan pada ra’yu dan ijtihad
Ulama berbeda pendapat tentang fatwa
sahabat secara perorangan tersebut yang merupakan hasil ijtihad, apakah
mengikat generasi sesudahnya atau tidak. Terdapat beberapa pendapat dalam
masalah ini. Menurut Wahbah Zuhaili, beberapa pendapat itu dapat disimpulkan
menjadi dua pendapat sebagai berikut :
1. Menurut
kalangan Hanafiyah, Imam Malik dan Imam Syafi’I dan pendapat terkuat Imam Ahmad
Bin Hanbal bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi
selanjutnya. Dengan alasan :
a. Firman
Allah “ Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang
mungkar dan beriman kepada Allah swt. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah
itu lebih baik bagi mereka, diantara mereka ada yang beriman dan kebanyakan
dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( Ali Imran 110 )
Ayat tersebut menurut
mereka ditujukan kepada para sahabat dan menunjukan bahwa apa yang mereka
sampaikan adalah ma’ruf dan harus diikiuti.
b.
Sabda
Rasullullah “ Para sahabatku bagaikan
bintang-bintang, siapapun diantara mereka yang kalian ikuti maka akan mendapat
petunjuk”
Hadits tersebut menurut
aliran pengikut ini menunjukan wajibnya mengikuti fatwa sahabat. Tetapi
menurut Ibnu Hazm, hadits ini merupakan
hadits maudlu’yang tidak bisa dijadikan sandaran hukum.
2. Menurut
salah satu riwayat Imam Ahmad Bin Hanbal, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah bahwa
fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Dengan alasan :
a. Firman
Allah “ Maka ambilah (kejadian itu) untuk
menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (Al-hasyr : 2)
Yang
dimaksud dengan mengambil pelajaran dalam ayat tersebut menurut mereka ialah
melakukan ijtihad. Dengan demikian ayat tersebut memerintahkan orang-orang yang
mempunyai kemampuan untuk berijtihad, sedangkan mengikuti fatwa sahabat berarti
mujtahid tersebut bertaqlid dengan sahabat tersebut yang bertentangan dengan
kehendak ayat tersebut yang menyuruh mereka berijtihad.
b. Para
sahabat bukan orang ma’sum. Sama dengan para mujtahid lainnya. Oleh sebab itu,
fatwa mereka mengandung kebolehjadian keliru.
Sesuatu yang boleh jadi keliru tidak layak untuk diikuti.
Muhammad Abu Zahrah ahli ushul fiqh
berkebangsaan Mesir, menganggap pendapat yang pertama yaitu bahwa fatwa sahabat
boleh dijadikan pegangan lebih kuat untuk dipegang alasanya, bahwa para sahabat
adalah orang yang paling dekat dengan Rasul saw. Mereka banyak menyaksikan
pembentukan hukum dari Rasul dan banyak mengetahui tentang latar belakang
turunnya ayat, serta orang yang paling tahu setelah Rasul. Tentang maksud dari
ayat atau hadits Rasul. oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih dapat
dijadikan rujukan.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Yang
dimaksud dengan qoul shahabi ialah pendapat sahabat Rasul saw tentang suatu
kasus dimana hukumnya tidak dijelakan secara tegas dalam al-qur’an dan sunah
Rasul saw. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasul adalah orang yang hidup
bersama Rasul saw dalam waktu yang cukup lama dan menimba ilmu darinya serta
beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam.
Qoul
shahabi yang mauquf terkadang shahih, hasan atau dho’if. Qoul mauquf bisa
dijadikan hujjah dengan 3 syarat :
a.
Masyhurnya qoul
b.
Tidak
bertentangan dengan qoul yang lain
c.
Tidak
bertentangan dengan nash al quran dan hadits
Jika
para sahabat berpendapat tentang suatu masalah maka mereka berkat” jika pendapatku ini benar maka ini datangnya
dari Allah dan jika salah maka ini adalah kesalahanku”
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Effendi,
Satria. 2008.Ushul Fiqh Jakarta;
Kencana
Ø
Mustafa Bin
Muhammad Bin Salamah, Abi Islam. At-Ta’sis
Fi Ushulil Fiqh Ala Dhau’il Kitab Wa Sunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar